Mengenal Ki Bagus Hadikusuma, Ketua Muhammadiyah Sejak 1944-1953
Ki Bagus Hadikusuma atau R. Hidayat adalah salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia yang merupakan putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton, Yogyakarta. KI Bagus Hadikusuma dilahirkan di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 11 Rabi’ul akhir 1038 Hijriyah.
Seperti keluarga santri pada umumnya, Ki Bagus Hadikusuma memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan juga beberapa Kiai di Kauman. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Ongko Loro (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus Hadikusuma melanjutkan pendidikan di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di pesantren ini, ia banyak mengkaji tentang kitab-kitab fiqih dan tasawuf.
Pada usia 20 tahun, Ki Bagus Hadikusuma menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memiliki 6 orang anak. Salah seorang diantaranya yaitu Djarnawi Hadikusumo yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Siti Fatmah meninggal, Ki Bagus Hadikusuma menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta yang Bernama Mursilah. Dari pernikahan kedua, Ki Bagus Hadikusuma memiliki 3 orang anak. Ki Bagus Hadikusuma kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah, seorang pengusaha, setelah istri keduanya meninggal. Dari pernikahan ini, ia memiliki lima anak. Pendidikan Ki Bagus Hadikusuma terbatas pada sekolah rakyat (SD) ditambah dengan mengaji, dan ia dibesarkan di pesantren. Namun, berkat kerja keras dan ketekunannya dalam mempelajari kitab-kitab terkenal, ia akhirnya menjadi seorang yang alim, mubaligh, dan pemimpin umat.
Ki Bagus Hadikusuma adalah seorang pemimpin Muhammadiyah yang berperan besar dalam penyusunan Muqaddimah UUD 1945 sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia memberikan kontribusi penting dalam merumuskan Muqadimah tersebut dengan menekankan prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, peradaban, dan keadilan yang diterima oleh semua anggota PPKI. Selain terlibat dalam kegiatan tabligh, ia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ki Bagus Hadikusuma berhasil merumuskan pemikiran Ahmad Dahlan sehingga dapat membimbing gerakan Muhammadiyah yang kemudian menjadi bagian dari Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqadimah ini menginspirasi tokoh-tokoh lain, seperti Hamka untuk merumuskan landasan idiil Muhammadiyah.
Ki Bagus Hadikusuma juga produktif menulis, dengan karya-karya seperti “Islam sebagai Dasar Negara” dan “Achlaq Pemimpin”, serta beberapa buku lainnya yang mencerminkan komitmennya terhadap etika dan syariat Islam. Ia memiliki kecenderungan untuk memperkuat institusi Islam yang dianggap penting secara ideologi, politik, dan intelektual. Upayanya terlihat saat ia terlibat dalam perbaikan peradilan agama, meskipun ia kecewa ketika pemerintah kolonial membatalkan keputusan untuk memberlakukan hukum Islam dan menggantinya dengan hukum adat melalui Ordonansi 1931. Kekecewaannya ini ia ungkapkan dalam pidato di Sidang BPUKPKI.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, termasuk pecahnya Perang Dunia II. Meskipun awalnya menolak untuk menjadi Wakil Ketua PB Muhammadiyah pada Kongres ke-26 tahun 1937, ia akhirnya menerima tanggung jawab sebagai Ketua PB Muhammadiyah pada tahun 1942 ketika Mas Mansur bergabung dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Dalam masa penjajahan Jepang, Ki Bagus menunjukkan keberanian dengan menolak perintah tentara Dai Nippon untuk mengadakan upacara kebaktian pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. Ia menjabat sebagai Ketua PB Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia mengakui jasanya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Artikel ini dikutip di situs muhammadiyah.or.id.