Meneladani Sikap Negarawan Sejati dari Ki Bagus Hadikusuma
Ki Bagus Hadikusuma (ejaan lama: Ki Bagoes Hadikoesoemo) merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke-5 dari tahun 1942 hingga 1953. Ia dikenal sebagai tokoh penting dalam penyusunan Pancasila dan UUD, serta terlibat dalam BPUPKI dan PPKI. Namun, banyak yang belum mengetahui perjalanan hidupnya sebagai aktivis Muhammadiyah.
Muhammad Hisyam dalam bukunya, “Caught Between Three Fires”, mencatat bahwa setelah KH. Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Ki Bagus Hadikusuma mengambil alih posisi gurunya di Dewan Tokoh Agama Hindia Belanda. Ia berjuang untuk meningkatkan posisi hukum Islam dalam pemerintahan, meski pada akhirnya rekomendasinya sering diabaikan.
Pada buku yang berjudul ”Ki Bagus Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara”, Hisyam menilai Ki Bagus berhasil menjaga Indonesia agar tidak menjadi negara teokrasi atau sekuler, yang memang tidak dapat disepakati oleh kelompok Islam dan nasionalis di BPUPKI dan PPKI.
Pada 5 November 2015, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ki Bagus Hadikusuma melalui Keppres Nomor 116/TK/2015, setelah usulan dari Muhammadiyah pada November 2012. Sebelumnya, pada 1993, ia juga mendapatkan Bintang Maha Putra dari Presiden Soeharto.
A.M. Fatwa, Ketua Tim Pengajuan Gelar menyampaikan tiga alasan mengapa Ki Bagus layak mendapat gelar pahlawan, sebagai perintis kemerdekaan, perumus dasar negara, dan memiliki visi kenegarawanan. Namun, pengakuan ini tidak serta merta membuat generasi mendatang memahami sosok Ki Bagus. Beberapa kalangan menganggap keteguhan Ki Bagus dalam mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai upaya mendirikan negara Islam. Menanggapi hal ini, cucunya, Gunawan Budiyanto, menegaskan bahwa tujuan kakeknya adalah menjadikan Islam sebagai pedoman etik pemimpin negara, bukan mendirikan negara Islam.
Di sidang BPUPKI kedua pada Juli 1945, Ki Bagus mengusulkan perubahan frasa dalam naskah preambule Pernyataan Kemerdekaan. Meskipun usulnya ditolak, ia tetap berusaha menjaga persatuan bangsa dan keadilan antarumat beragama.
Sebagai murid KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus ingin memperjuangkan hukum Islam dalam negara, meski harus menerima tujuh kata tersebut di kemudian hari. Setelah proklamasi, dia dihadapkan pada situasi genting terkait penolakan kalimat yang berkaitan dengan syariat Islam oleh beberapa pihak non-Muslim. Ki Bagus akhirnya setuju untuk menghapus kalimat tersebut demi menjaga kesatuan bangsa.
Ki Bagus lahir di Yogyakarta pada 24 November 1890 dengan nama Raden Hidayat. Ia lebih memilih pakaian Jawa dan dikenal sebagai seorang muslim moderat. Ki Bagus aktif dalam Muhammadiyah, menjadi ketua Majelis Tabligh dan Ketua Majelis Tarjih, serta berperan dalam upaya kemerdekaan Indonesia dan pendirian Angkatan Perang Sabil.
Sebagai tokoh utama, Ki Bagus merumuskan pokok-pokok pikiran KH Ahmad Dahlan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, menjaga agar organisasi tetap berpegang pada ajaran Islam, meski dihadapkan pada pengaruh luar yang kuat. Ia menunjukkan bahwa santri dan ulama bukanlah ancaman bagi keutuhan bangsa, melainkan pihak yang siap berkorban demi negara.
Artikel di dikutip dari laman website muhammadiyah.or.id pada tanggal 4 Maret 2021