Alasan di Balik Gelar Mayor Jenderal Tituler untuk Buya AR Sutan Mansur
Pemberian gelar ‘tituler’ dalam dunia militer kepada sejumlah selebriti belakangan ini menuai kontroversi. Salah satu isu yang muncul adalah ketidaksesuaian antara gelar tersebut dengan tugas, fungsi, dan profesionalisme yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Namun, situasi ini berbeda jika gelar Tituler diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki kontribusi signifikan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat.
Buya AR Sutan Mansur, seorang ulama dari Muhammadiyah yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 15 Desember 1895, mendapatkan gelar Mayor Jenderal Tituler dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Gelar ini diberikan sebagai penghargaan atas dedikasi dan kontribusinya terhadap bangsa.
Apa Itu Gelar Tituler?
Gelar Tituler merupakan pangkat yang diberikan kepada individu yang sepadan dengan jabatan militer tertentu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI. Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa gelar tituler hanya berlaku selama individu tersebut memangku jabatan keprajuritan dan berhak atas perlakuan administratif tertentu, seperti tunjangan sebesar 15% dari gaji pokoknya.
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 27 ayat (1) huruf c, pangkat tituler dapat diberikan sementara kepada individu yang bersedia menjalankan tugas keprajuritan tertentu di lingkungan TNI, selama mereka masih memegang jabatan tersebut. Setelah tidak lagi memangku jabatan, gelar tersebut akan dicabut.
Gelar ini termasuk dalam kategori pangkat khusus TNI, di samping pangkat lokal, dan biasanya diberikan untuk posisi yang membutuhkan perwira, seperti perwira rohani atau perwira musik.
Buya AR Sutan Mansur: Tokoh Terkenal dari Muhammadiyah
Buya AR Sutan Mansur, yang juga dikenal dengan nama lengkap Ahmad Rasyid Sutan Mansur, adalah Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode 1956-1959. Ia meninggal dunia pada 25 Maret 1985. Dengan keahlian di bidang tasawuf dan ushuluddin, Sutan Mansur sering diminta sebagai penasihat dalam urusan agama oleh berbagai kalangan. Junus Anis, Ketua Umum Muhammadiyah yang menggantikan Sutan Mansur, bahkan menyebutnya sebagai “Bintang Muhammadiyah dari Barat.”
Kontribusi yang Mengagumkan
Dengan latar belakang pengetahuan agama yang luas, AR Sutan Mansur memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Salah satunya adalah ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938; Sutan Mansur turut berperan sebagai penasihat.
Selama periode 1947 hingga 1949, ia diangkat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai Imam atau Guru Agama Islam untuk TNI Komandemen Sumatera di Bukittinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Setelah menyelesaikan tugas ini dengan baik, pada tahun 1950, TNI Angkatan Darat mengajaknya untuk menjadi penasihat di Markas Besar TNI. Namun, Sutan Mansur dengan sopan menolak tawaran tersebut, memilih untuk melakukan dakwah keliling Sumatera demi Muhammadiyah.
Demikian pula, ketika Presiden Soekarno pada tahun 1952 memintanya menjadi penasihat negara, Sutan Mansur kembali menolak, meminta untuk berperan sebagai penasihat tidak resmi.
Gelar Mayor Jenderal Tituler yang dianugerahkan kepada Buya AR Sutan Mansur bukan hanya sekadar gelar militer, tetapi juga merupakan pengakuan atas dedikasinya yang luar biasa dalam bidang agama dan masyarakat. Kontribusinya yang mendalam menjadikannya sosok yang dihormati dan dikenang dalam sejarah Muhammadiyah dan Indonesia.
Informasi pada artikel ini dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id, yang tayang pada 22 Desember 2022.